Resensi Novel
Negeri 5 Menara
Judul buku : Negeri 5 Menara
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : PT Gramedia Pusat Utama
Kota tempat terbit : Jakarta
Tahun terbit : November
2009
Tebal : xiii + 423 halaman
Harga : Rp 50.000,00
Hidup ini perlu
perjuangan untuk mencapai kesuksesan. Hal tersebut dituangkan kedalam novel
yang berjudul Negeri 5 Menara karya
A. Faudi. Kisah-kisah perjuangan menghadapi kehidupan untuk mencapai cita-cita,
melawan dinamika kehidupan dan rasa
menghormati dan menghargai orang tua merupakan hal yang ditonjolkan dalam novel
ini.
Alif Fikri yang berasal dari Maninjau, Bukittinggi, adalah
seorang anak desa yang sangat pintar. Ia dan teman baiknya, Randai, memiliki
mimpi yang sama: masuk ke SMA dan melanjutkan studi di ITB, universitas
bergengsi itu. Selama ini mereka bersekolah di madrasah atau sekolah agama
Islam. Mereka merasa sudah cukup menerima ajaran Islam dan ingin menikmati masa
remaja mereka seperti anak-anak remaja lainnya di SMA. Alif mendapat nilai
tertinggi di sekolahnya yang membuatnya merasa akan lebih terbuka kesempatan
untuk Amak (Ibu) memperbolehkannya masuk sekolah biasa, bukan madrasah
lagi. Namun Amak menghapus mimpinya masuk SMA. “Beberapa orang tua
menyekolahkan anaknya ke sekolah agama karena tidak cukup uang untuk masuk ke
SMP atau SMA. Lebih banyak lagi yang memasukkan anaknya ke sekolah agama karena
nilainya tidak cukup. Bagaimana kualitas para buya, ustad, dan dai tamatan
madrasah kita nanti? Bagaimana nasib Islam nanti? Waang punya potensi yang
tinggi. Amak berharap Waang menjadi pemimpin agama yang mampu
membina umatnya,” kata Amak yang membuat harapan anaknya masuk SMA pupus.
Dengan membaca pembuka novel tersebut, dapat dengan mudah
kita menerka nuansa apa yang akan kita rasakan sampai pada selesainya novel
ini. Ya, nuansa Islam. Pembukaan ini merupakan pembukaan yang baik di mana
pembaca dapat berharap banyak dan berimajinasi akan jadi apa Alif ini. Pemimpin
negara? Atau pemimpin besar agama? Sayangnya sampai akhir, penulis kurang mampu
memperlihatkan dinamika dalam cerita. Klimaks cerita kurang menonjol sehingga
pembaca merasa dinamika cerita sedikit datar. Setelah selesai membaca, pembaca
akan merasa cerita belum selesai setuntas-tuntasnya. Hal ini mungkin disebabkan
karena penulis mendasarkan ceritanya pada kisah nyata dan tidak ingin
melebih-lebihkannya. Mungkin akan lebih baik jika penulis membuat
konflik-konflik yang lebih tegang atau menuliskan ending yang lebih
memukau pembaca.
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat menarik.
Ringan, deskriptif, dan mengalir serta mampu memperkaya kosakata dan wawasan
berbagai macam bahasa daerah. Di dalam novel ini terdapat bahasa daerah
Maninjau, Medan, Sunda, dan Arab. Tidak tertinggal catatan kaki di bagian bawah
yang menjelaskan arti dari kata tersebut. Ungkapan-ungkapan dan peribahasa juga
terdapat dalam penulisannya, seperti “man jadda wajada” yang paling
sering dicantumkan. “Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.”
Ungkapan-ungkapan seperti ini sangat penting dalam sebuah novel karena mampu
memberikan semacam trade mark yang membuat novel ini lebih terkenang di
hati pembaca.
Novel ini menceritakan berbagai kisah sederhana kehidupan di
Pondok Madani, pesantren modern yang akhirnya menampung Alif di
dalamnya. Suka, duka, persahabatan, dan pengajaran-pengajaran PM yang sederhana
namun mengena. PM berbeda dengan sekolah agama lainnya karena di sini para
murid dilatih untuk menjadi intelektual dan mampu menganalisa berbagai ilmu
dari sudut pandang Islam. Sehari-harinya mereka wajib menggunakan bahasa Arab
dan bahasa Inggris. Jika melanggar, tidak mungkin tidak terlepas dari hukuman.
PM sangat ketat dengan pengawasan dan kedisiplinannya.
Biarpun masuk karena terpaksa, namun Alif mulai menyukai
kehidupan di pondok. Terlebih lagi, ia sangat menikmati hidup persahabatannya
dengan Sahibul Menara – sebuah sebutan penghuni PM terhadap Alif dan 5 teman
lainnya – yang selalu berkumpul di bawah menara tertinggi di Pondok Madani.
Mereka adalah Said, Baso, Raja, dan Atang. Persahabatan lekat yang dijalin
bersama sangat cukup menjadi penghiburan bagi Alif. Tapi di satu sisi ada
kegelisahan mengetahui teman baiknya – Randai – sudah masuk SMA terbaik yang
pernah mereka idamkan bersama, sudah melewati masa SMA dengan penuh tawa, dan dengan
bahagia berhasil merebut impian mereka tertinggi: masuk universitas di ITB.
Pertanyaan “jadi apa aku nanti?” terus terngiang dalam kepalanya mengingat
ijazah PM tidak diakui walaupun sangat diakui di luar negeri.
Satu lagi kelebihan novel ini. Pembaca tidak akan bosan
membaca kehidupan di pondok karena penulis rupaya menggunakan alur campuran. Ia
memulai cerita dengan mengambil setting Alif yang sudah bekerja lalu mulai
masuk ke dalam ingatan-ingatan Alif akan kehidupannya dulu di Pondok Madani. Setelah
cukup panjang menceritakan tentang pondok, ia mulai beralih lagi ke kehidupan
Alif masa sekarang.
Novel ini dapat menjadi satu pengharapan bagi Indonesia,
setidaknya masih ada pemuda di luar sana yang rela memberikan dirinya dipakai
masa depan. Bukan menempatkan masa depan di tangan sendiri untuk ia tentukan.
Merupakan satu penghiburan bahwa masih ada orang-orang yang sungguh-sungguh
rela belajar dan mengasah diri untuk dapat memberikan sumbangsih pada dunia,
terutama pada tanah airnya sendiri. Namun novel ini juga dapat menjadi kisah
yang mengiris hati karena menyadarkan kita bahwa hampir tidak ada generasi muda
yang seperti itu, bahkan mungkin.. Termasuk kita sendiri?